Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Panggah Susanto menegaskan pentingnya jaminan harga dan penyerapan hasil panen petani, khususnya gabah dan jagung, agar petani tidak terus merugi akibat fluktuasi pasar. Ia menilai, pemerintah harus hadir memastikan harga pokok pembelian (HPP) ditegakkan dan mekanisme serapan oleh Bulog maupun BUMN pangan lainnya berjalan efektif di lapangan.
“Pemerintah harus menjamin bahwa hasil panen petani, baik gabah maupun jagung, benar-benar terserap dengan harga yang layak. Jangan sampai petani menanggung kerugian saat panen raya karena harga jatuh,” tegas Panggah saat kepada Parlementaria usai agenda peninjauan lapangan gabungan DPR ke Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu (15/10/2025).
Menurutnya, penyerapan hasil panen menjadi persoalan klasik yang selalu muncul setiap musim panen. Di sejumlah daerah sentra pangan, petani sering kali kesulitan menjual gabah atau jagungnya karena keterlambatan intervensi pemerintah dan terbatasnya kapasitas penyerapan Bulog.
“Kita tidak boleh hanya bicara produksi, tapi juga harus memastikan hasil panen petani benar-benar dibeli. Kalau tidak ada jaminan pasar, semangat petani bisa hilang,” katanya.
Ia juga menyoroti kondisi harga gabah dan jagung yang kerap turun tajam saat panen raya. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Oktober 2025, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani rata-rata Rp6.100 per kilogram, masih di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp5.000 per kilogram, namun di beberapa wilayah harga sudah mulai melemah.
Sementara harga jagung pipilan kering berkisar Rp5.500–6.000 per kilogram, tetapi petani mengeluhkan biaya produksi yang terus meningkat, terutama pupuk dan transportasi. “Kalau harga gabah dan jagung mulai turun, petani bisa rugi karena biaya tanam sekarang jauh lebih tinggi. Di sinilah peran Bulog dan BUMN pangan untuk segera menyerap hasil panen dengan harga stabil,” ujar Politisi Fraksi Partai Golkar itu.
Sebab itu, ia menekankan agar Bulog, ID FOOD, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) menjalankan perannya secara aktif di lapangan, tidak hanya sebagai penyimpan stok, tetapi juga penyeimbang harga. “BUMN pangan harus hadir di saat petani butuh. Jangan baru turun setelah harga jatuh. Intervensi harga harus dilakukan sejak awal panen,” ujarnya.
Lebih lanjut, Panggah menilai pentingnya koordinasi antara Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, dan pemerintah daerah dalam menjaga rantai pasok hasil pertanian. Menurutnya, kebijakan distribusi dan serapan gabah serta jagung tidak bisa berjalan terpisah.
“Kalau daerah tidak dilibatkan, akan sulit mengatur arus gabah dari petani ke Bulog. Pemerintah pusat harus memberi ruang agar daerah ikut mengatur mekanisme penyerapan,” jelasnya.
Tidak henti, ia pun mengingatkan bahwa Indonesia membutuhkan cadangan pangan nasional yang kuat untuk menjaga stabilitas harga dan ketahanan pangan. Oleh karena itu, tegasnya, setiap panen harus diikuti dengan peningkatan stok oleh Bulog. “Stok Bulog bukan hanya untuk beras, tapi juga jagung. Kalau cadangan cukup, kita bisa kendalikan harga di pasar dan melindungi petani,” katanya.
Sebagai informasi, hingga awal Oktober 2025, stok beras Bulog tercatat sekitar 1,8 juta ton, sementara stok jagung nasional diperkirakan hanya 600 ribu ton, jauh di bawah kebutuhan industri pakan ternak nasional yang mencapai lebih dari 9 juta ton per tahun. “Ini artinya, serapan pemerintah terhadap jagung petani masih rendah. Kalau tidak ditingkatkan, impor bisa naik lagi. Padahal, petani kita mampu produksi jagung lebih dari 15 juta ton per tahun,” paparnya.
Oleh karena itu, dirinya berharap pemerintah tidak hanya fokus pada stabilisasi harga konsumen, tetapi juga pada jaminan pendapatan petani. “Kalau petani tidak sejahtera, siapa yang mau terus menanam? Pemerintah harus pastikan mereka mendapat kepastian harga, akses pasar, dan pembelian hasil panen,” pungkas Panggah.